Sejarah Taman Nasional Laiwangi Wanggameti

Sejarah Taman Nasional Laiwangi Wanggameti

Pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda, kawasan ini termasuk kelompok hutan yang dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Swapraja. Penetapan awal dilakukan melalui keputusan ZB bsl 6-1-1930 dan ZB bsl 20-7-1930 Nomor 9 untuk melindungi hutan alam. Kemudian diperkuat lagi dengan keputusan Nomor 5 ZB bsl 6-1-1932 Nomor 3 sebagai bentuk komitmen pemerintah kolonial. Langkah ini menjadi awal kesadaran pentingnya menjaga kelestarian hutan dan satwa langka di Pulau Sumba. Perlindungan kawasan pada masa itu didasarkan pada nilai ekologis dan keunikan keanekaragaman hayati yang dimiliki wilayah tersebut.

Pada tahun 1965, kelompok hutan ini ditetapkan statusnya sebagai hutan tutupan dengan fungsi perlindungan hidrologis oleh Bupati Sumba Timur. Perubahan status ini menandai keseriusan pemerintah daerah dalam menjaga fungsi kawasan sebagai daerah tangkapan air vital bagi masyarakat. Periode ini menjadi fase transisi dari perlindungan kolonial menuju pengelolaan kawasan oleh pemerintah Indonesia yang baru merdeka. Masyarakat lokal mulai dilibatkan dalam pengawasan kawasan meskipun masih dengan pendekatan yang sangat terbatas pada masa itu. Fungsi hidrologis menjadi fokus utama mengingat kondisi Sumba yang tergolong kering dengan curah hujan terbatas sepanjang tahun.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 576/Kpts-II/1998 tanggal 3 Agustus 1998, kawasan ini resmi menjadi taman nasional. Luas kawasan TNLW ditetapkan mencapai 470,1 kilometer persegi yang mencakup empat kecamatan di Kabupaten Sumba Timur. Penetapan sebagai taman nasional menandai era baru pengelolaan kawasan dengan sistem zonasi dan perlindungan lebih komprehensif terhadap biodiversitas. Status baru ini memberikan landasan hukum kuat untuk melindungi habitat burung endemik dan satwa langka dari ancaman kepunahan. Pengelolaan profesional mulai diterapkan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk masyarakat lokal dan lembaga konservasi internasional.

Sejak penetapan sebagai taman nasional, berbagai program konservasi dilaksanakan untuk memulihkan ekosistem yang telah terdegradasi akibat aktivitas manusia. Kerjasama dengan organisasi lingkungan seperti Burung Indonesia memperkuat upaya perlindungan spesies endemik yang terancam punah di kawasan. Tata batas partisipatif dilakukan bersama pemerintah daerah dan masyarakat adat untuk mengakomodasi kepentingan konservasi dan budaya lokal. Program pemberdayaan masyarakat desa penyangga dikembangkan untuk menciptakan keseimbangan antara perlindungan alam dan kesejahteraan ekonomi penduduk. Perjalanan sejarah panjang ini membuktikan komitmen berkelanjutan dalam menjaga warisan alam Sumba untuk generasi masa depan Indonesia.